Tragedi 98 Bukan tak Mungkin


Tragedi 98 Bukan tak Mungkin

Tragedi 98 Bukan tak Mungkin Terulang Akibat Covid-19

Hermawan SE MM
Dosen Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi/
Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi)

Terjadinya wabah Covid-19 di Indonesia telah lebih dari tiga bulan lamamya. Kasus pertama yang terjadi di Tanah Air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat. Hal ini diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). Selama itu pula perekonomian Indonesia semakin menurun.

Adanya penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di berbagai wilayah khususnya Jabodetabek mempersulit warga masyarakat untuk menjalankan roda perekonomiannya, terbukti dengan merosotnya daya beli masyarakat akibat banyak yang di-PHK dan dirumahkan, para pedagang makanan dan kuliner yang tidak boleh berjualan, para pedagang banyak yang dibatasi waktu usahanya, bahkan menutup usahanya serta banyak perusahaan yang menghentikan operasionalnya karena kebijakan ini.
Himbauan physical distancing, bekerja, belajar dan beribadah di rumah, hingga pelarangan kegiatan yang menimbulkan kerumunan tentunya membuat roda ekonomi nyaris terhenti. Disamping itu, adanya kebijakan pemerintah dimana banyak dari napi yang dikeluarkan dengan alasan untuk memutus mata rantai penyebaran di sel tahan, baik secara langsung atau tidak langsung berdampak pada keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat saat ini.

Sekarang ini, banyak kita lihat warga masyarakat sudah mulai mengeluh akan kehidupan sehari-hari. Kebutuhan hidup yang seharusnya terpenuhi secara maksimal mulai berkurang dengan berkurangnya anggaran belanja keluarga. Pendapatan para pekerja seperti para Ojek Online, Ojek Pangkalan, pedagang kaki lima, pekerja harian, pekerja kontrak dan pekerja musiman sudah tidak lagi bisa mengasilkan pendapatan seperti biasa, bahkan nihil didapat setiap harinya.

Kehidupan ekonomi yang menurun terbukti dengan konsumsi swasta, yang menyumbang hampir 60% pergerakan ekonomi nasional, dipastikan akan mengalami kontraksi. Penjualan retail, baik di pasar tradisional dan pasar modern dipastikan turun. Bahkan, sebelum kasus Covid-19 teridentifikasi di Indonesia, data Indeks Penjualan Riil yang dikeluarkan Bank Indonesia sudah menunjukkan kontraksi 0,3% pada Januari 2020

Hasil survei mengindikasikan tekanan harga di tingkat pedagang eceran meningkat dalam tiga bulan mendatang (April 2020), namun menurun dalam enam bulan mendatang (Juli 2020). Hal ini tercermin dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) 3 bulan yang akan datang yang sebesar 165,5 (April 2020), lebih tinggi dibandingkan 160,2 pada bulan sebelumnya, serta IEH 6 bulan yang akan datang yang sebesar 161,8, (Juli 2020), lebih rendah dari 166,0 pada bulan sebelumnya. Data Departemen Komunikasi (10 Maret 2020)

Tak hanya itu, meluasnya kekhawatiran masyarakat dan investor terhadap Covid-19, menyebabkan minat investasi juga akan turun signifikan, sehingga pertumbuhan investasi baru akan melambat. Proyek-proyek investasi yang dikelola pemerintah dan BUMN akan tetap berlangsung, meskipun juga akan turun sejalan dengan himbauan social distancing bagi para pekerja. Impor barang modal yang menjadi salah satu leading indicators Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) pada Januari dan Februari 2020 sudah mengalami kontraksi 10,6% (yoy).

Per Maret 2019, penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia mencapai 66,7 juta orang, atau hampir tiga kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (golongan miskin dan sangat miskin). Sebagian besar dari golongan ini bekerja di sektor informal, termasuk yang mengandalkan upah harian. Apabila penanganan pandemi berlangsung lama, periode pembatasan dan penurunan mobilitas orang akan semakin panjang.

Di dalam kehidupan masyarakat akan ada terjadi dampak negatif jika kehidupan ekonomi masyarakat semakin menurun dan cenderung negarif. Dampak negatif tersebut antara lain yang pertama; masyarakat akan cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu karena desakan ekonomi, yang kedua; masyarakat akan tidak percaya lagi kepada pemerintahan saat ini, yang ketiga; masyarakat akan apatis terhadap etnis lain terutama Tionghoa yang secara kasat mata perekonomiannya lebih baik dibandingkan masyarakat sekitar. Jika hal ini terjadi, maka kejadian ini hampir sama situasinya dengan tragedi tahun 1998.

Kita tentunya pernah mendengar tentang kerusuhan Mei 1998, bahkan mungkin ada yang merupakan saksi mata peristiwa kerusuhan tersebut. Rentetan peristiwa yang menyeramkan dan menyedihkan terus bergulir pada Mei 1998. Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang teramat menyakitkan bagi etnis Tionghoa Indonesia yang terjadi pada 13-15 Mei 1998. Berbagai bentuk penindasan ditujukan kepada mereka baik itu penjarahan, penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan dan lainnya. Kerusuhan ini dilatarbelakangi keruntuhan ekonomi krisis finansial Asia 1997, adanya kritik terhadap pemerintahan orde baru yang saat itu dipimpin Presiden Soeharto.

Berdasarkan hasil analisis dari Sri Palupi, seorang koordinator investigasi dan pendataan Tim Relawan, sentimen anti-Tionghoa yang sudah lama berlangsung dimanfaatkan memicu kerusuhan yang disebabkan kritis ekonomi yang meresahkan. Terjadinya penurunan rupiah terhadap dolar mengakibatkan berbagai perusahaan yang meminjam dolar harus membayar biaya yang lebih besar dan juga para pemberi pinjaman menarik kredit secara besar-besaran sehingga terjadi penyusutan kredit dan kebangkrutan.

Inflasi rupiah yang diperparah dengan banyaknya masyarakat yang menukarkan rupiah dengan dolar AS, ditambah kepanikan masyarakat terkait tingginya kenaikan harga bahan makanan, menimbulkan aksi protes terhadap pemerintahan orde baru. Kritikan dan aksi unjuk rasa pun mulai bermunculan dan kian memanas. Hal seperti ini mungkin saja terjadi saat ini bila Pemerintah tidak tanggap akan situasi yang terjadi.

Saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada Jumat (13/3). Dalam pembukaan di pasar spot, nilai rupiah turun 0,05% ke level Rp 14.595 per dolar AS. Pelemahan ini ditengarai virus novel corona (COVID-19) yang masih mewabah, sehingga memberikan sentimen negatif. Rupiah terus bergerak melemah hingga ke level Rp 14.815 per dolar AS. Dilansir dari FXStreet.com, nilai tersebut sekaligus menjadi yang terendah sejak November 2018. Sejak penutupan pada 2 Januari 2020 lalu, rupiah berada di level Rp 13.895/USD. Nilainya melemah sekitar 6,6%. Kalau situasi ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin keadaan semakin memburuk dan situasi sosial akan susah dikendalikan.

Upaya-upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi perekonomian masyarakat yang semakin menurun dengan memberikan bantuan-bantuan sosial (Bansos) kepada masyarakat dalam bentuk sembako dan uang. Akan tetapi hal tersebut belum sepenuhnya membantu perekonomian masyarakat. Banyak masalah yang terjadi di masyarakat dengan dilaksanakannya Bantuan Sosial (Bansos) tersebut, diantaranya bantuan yang salah sasaran dimana banyak warga yang seharusnya berhak malah tidak dapat dan sebaliknya, ada yang menerima bantuan lebih dari satu, pengambilan data-data yang tidak valid dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang harus segera diperbaiki. Hal ini adalah boom waktu terjadinya chaos jika tidak cepat dilakukan tindakan.

Bantuan-bantuan sosial seyogyanya dapat memenuhi kehidupan ekonomi masyarakat yang lumpuh setiap harinya, akan tetapi yang terjadi bantuan tersebut paling lama hanya tiga sampai empat hari sudah habis, selebihnya masyarakat memutar otak bagaimana dapat memenuhi kehidupannya sehari-hari. Untuk itu, Pemerintah harus memikirkan bagaimana roda perekonomian terus berjalan dengan cara memberikan kebijakan-kebijakan khusus yang tidak mengabaikan social distancing dan stimulus-stimulus bantuan yang bersifat tepat sasaran baik itu bagi masyarakat kecil, para pedagang, pengusaha UMKM, bahkan pengusaha-pengusaha yang menyentuh hajat hidup orang banyak.

Semoga pandemi ini dapat segera berakhir agar segala sektor dapat berjalan kembali seperti semula. ***