STUDY BUDAYA MAHASISWA FIKOM KE SUKU BADUY


STUDY BUDAYA MAHASISWA FIKOM KE SUKU BADUY

Mungkin buat sebagian orang, jika ada yang menyebut “Baduy”, merasa sudah tak asing lagi, walau mengenalnya hanya dari internet. Suku Baduy adalah salah satu suku terasing yang ada di Indonesia. Beberapa suku terasing yang ada di Indonesia selain Suku Baduy adalah Suku Kombai dan Suku Korowai di Papua, Suku Dani di Papua tepatnya di Lembah Baliem Pegunungan Tengah, Suku Bauzi di Papua tepatnya di Lembah Mamberamo, Suku Kajang di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bulukumba, Suku Samin di Jawa Tengah (sekitar Blora, Pati dan sebagian wilayah Bojonegoro), Suku Anak Dalam di Jambi, Suku Laut atau Orang Laut (Orang Selat) di Kepulauan Riau, Suku Sakai di Riau, Suku Togutil (Suku Tobelo) di Maluku Utara tepatnya di perairan Sungai Dodaga hutan Totodogu dan Lolobata, Suku Polahi di Gorontalo tepatnya di pedalaman hutan Boliyohato.

Mahasiswa Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi (IBMB), program studi (prodi) Ilmu Komunikasi pada hari Minggu, 23 April 2017 lalu mengadakan studi pengamatan langsung ke Suku Baduy yang terletak di sekitar pegunungan Kendeng Desa Kenes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak-Banten. Hal ini dikaitkan dengan matakuliah Komunikasi Antar budaya dan Komunikasi Kelompok. Rombongan berangkat dari kampus IBMB jam 06.00WIB sampai di desa Ciboleger tepat di depan gapura Suku Baduy Luar, tepat saat adzan Dzuhur berkumandang. Jadi kurang lebih jarak yang kami tempuh sekitar 6 jam.

Mahasiswa IBMB prodi iIlmu Komunikasi mengadakan pengamatan setibanya di sana. Suku ini tidak mau menerima modernisasi dalam segala bidang. Suku Baduy terbagi menjadi dua yaitu suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Luar berciri khas menggunakan pakaian hitam-hitam dengan ikat kepala berwarna biru, sedangkan Suku Baduy Dalam mengenakan baju putih hitam dengan ikat kepala putih.

Ajaran suku Baduy yang sampai saat ini tidak berubah adalah tidak menerimanya moderniasasi dalam segala bidang. Bahkan saat berjalan mereka tidak menggunakan alas kaki sama sekali (bertelanjang kaki). Menurut kepercayaan mereka ketika berjalan tanpa menggunakan alas kaki, berarti mereka bersentuhan langsung dengan bumi, dengan alam. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda wiwitan (awal dari bahasa Sunda). Kepercayaan yang dianut oleh Suku Baduy adalah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. Mereka percaya adanya Sang Pencipta Alam (animisme), mereka hanya mengucapkan rasa terimakasih (bersyukur) kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara mereka sendiri. Orang-orang Suku Baduy hanya mengandalkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka saat membersihkan badan (mandi) tidak menggunakan sabun mandi dan shampoo, tetapi menggunakan dedaunan yang menghasilkan busa. Ikan atau ayam yang mereka pelihara, diolah dengan dibakar dan dipepes dengan menggunakan bumbu-bumbu “ala” mereka (tidak seperti bumbu pepes yang kita kenal). Kegiatan wanita Suku Baduy adalah menenun, yang kemudian hasilnya mereka gunakan sendiri. Namun oleh sebagian orang Suku Baduy Luar, hasil tenunnya terkadang mereka jual.

Pembangunan rumah Suku Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat bantu seperti paku dan palu serta gergaji. Sementara Suku Baduy Dalam membangun rumah hanya menggunakan alat-alat sederhana seperti parang yang mereka buat sendiri dan tali ijuk untuk mengikat. Diperkirakan jumlah orang Suku Baduy Dalam sekitar 800an orang.

Orang Suku Baduy Dalam dapat berpindah menjadi Suku Baduy Luar, dengan melalui sejumlah upacara adat. Setelah orang Baduy Dalam menjadi Baduy Luar, tidak bisa lagi kembali menjadi Baduy Dalam. Terkecuali adalah orang Baduy Dalam yang melakukan kesalahan (melanggar adat) maka akan diusir keluar dan tidak boleh masuk lagi, baik menjadi Baduy Dalam ataupun Baduy Luar.

Setahun sekali Suku Baduy mengadakan perayaan Seba Gede yaitu menghantarkan hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Kabupaten Lebak. Hal ini berlaku untuk Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Suku Baduy menerima para pengunjung untuk menginap dengan ketentuan bahwa pengunjung yang menginap harus menuruti adat-istiadat dan aturan yang berlaku.

Akhir dari perjalanan yang kami dapat adalah, kami melihat betapa luhurnya nilai-nilai berkehidupan yang ada di Suku Baduy. Seperti kerukunan dan gotong-royong dalam keseharian mereka. Kehidupan mereka jalani dengan apa adanya sesuai dengan usaha yang telah mereka lakukan, tidak ada rasa iri, dendam dan dengki dalam kehidupan mereka. Damai dan tentram…itu yang jelas kami lihat dan rasakan. (mR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *