Pendidikan Generasi Muda
Pendidikan Generasi Muda di Era Revolusi Industri 4.0 Dalam Merdeka Belajar
Oleh Rinovian Rais
Dosen Institut Bisnis Muhammadiyah/IBM Bekasi)
REVOLUSI industri 4.0 telah mengubah hidup dan kerja manusia secara fundamental. Berbeda dengan revolusi industri sebelumnya, revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup, dan kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital, dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, pendidikan, industri, dan pemerintah.
Untuk menghadapi desruptif teknologi pada era revolusi Industri 4.0, perlu peran dari lembaga pendidikan. Sebab dengan bekal yang mumpuni di lembaga pendidikan, generasi muda bisa menghadapi desruptif teknologi. Menyongsong itu semua, pembangunan manusia ke depan seolah menjadi lebih penting ketimbang hanya membangun infrastruktur.
Pendidikan 4.0 merupakan fenomena yang merespon kebutuhan revolusi industri keempat, di mana manusia dan mesin diselaraskan untuk mendapatkan solusi, memecahkan masalah, dan tentu saja menemukan kemungkinan inovasi baru. Pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan tantangan dan kebutuhan pada era sekarang ini apalagi dimasa pandemi covid19. Kurikulum yang membuka akses bagi generasi milenial mendapatkan ilmu dan pelatihan untuk menjadi pekerja yang kompetitif dan produktif.
Poin penting dari 4.0 adalah kebutuhan tentang disruptive innovatif, sedikit kita pahami sejarahnya: Istilah “disruption” dicetuskan oleh Clayton Christensen 1997, The Innovator’s Dilema. Di dalamnya, Christensen memperkenalkan gagasan “disruptif innovation” di dalam dunia bisnis. Ia menggunakan ungkapan ini sebagai cara untuk memikirkan perusahaan yang sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini, namun mengantisipasi kebutuhan mereka di masa depan. Teorinya menjelaskan bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya yang minim mampu memasuki pasar dan menggantikan sistem yang sudah mapan.
Ketika kita tarik kembali pada persoalan sistem pendidikan, maka 4 program merdeka belajar adalah langkah awal yang diambil Menteri Nadiem Makarim, decoupling dari sistem yang lama, untuk menciptakan sebuah sistem baru. Lantas jika program tersebut baru pada tahapan langkah awal, maka apa langkah selanjutnya?
Jika mengacu kepada tuntutan jaman disruptif innovatif 4.0, maka langkah selanjutnya adalah tentu efisiensi. Salah satu bentuk efisiensinya tentu mengarah pada IOT (internet of things), di mana sistem dan metode pembelajaran mulai menggunakan infrastruktur digital. Kebutuhan ruang-ruang mengajar akan mulai terdisrupt. Sebuah lembaga pendidikan tidak lagi memerlukan ruang kelas yang banyak, karena proses belajar bisa dilakukan secara mandiri melalui kelas-kelas digital. Selebihnya praktik langsung di dunia nyata. Penggunaan kelas hanya beberapa kali saja, dan bisa dilakukan secara bergantian.
Merdeka Belajar
Bisa dibayangkan berapa rupiah yang terpangkas jika hal ini benar-benar terwujud? Lembaga pendidikan tidak perlu membangun ruang terlalu banyak, tidak perlu mengeluarkan biaya operasional listrik dan air yang terlalu tinggi, dsb. Hal ini, secara otomatis berdampak pada turunnya biaya yang harus dibayarkan pelajar atau mahasiswa.
Bukan hanya itu. Kebutuhan tenaga pendidik, tenaga administratif, tenaga lain-lain juga mulai terdisrupt. Karena satu orang pendidik yang berkompeten, akan mampu handling proses belajar mengajar dengan jumlah peserta didik tidak terbatas jika menggunakan teknologi digital. Urusan administratif juga bisa diserahkan pada bot-bot yang telah ditanami artificial intellegent. Sehingga tidak berlebihan jika ‘Bossman Mardigu Wowiek’ memprediksi tenaga pendidik yang dibutuhkan jika sudah menggunakan infrastruktur digital hanya 30% saja dari jumlah tenaga pendidik yang ada sekarang.
Jika efisiensi sistem seperti ini bisa diaplikasikan, maka bukan tidak mungkin juga bukan jika lembaga pendidikan memiliki siswa hingga ribuan tapi gak punya ruang kelas dan hanya dihandle oleh segelintir tenaga pengajar? Sangat mungkin! Gak usah jauh-jauh ngebayanginnya, untuk sekedar prototypenya saja sudah ada seperti ruang guru dalam merdeka belajar.
Apakah kita sudah benar-benar bersiap untuk decoupling lepas dari masa lalu sistem pendidikan yang telah bertahun-tahun nyaris tidak berubah sama sekali? Kesiapan ini menjadi penting karena problem terbesar dari bangsa ini adalah berkecenderungan gagap dalam menerima perubahan. Memahami demokrasi belum juga terkuasai dengan benar hingga 22 tahun(era reformasi tahun 1998)karena gagap dalam menerima perubahan. Memahami perkembangan teknologi wearable device belum sampai, bahkan pada fase mengenal saja tidak tuntas, sehingga masih saja ada yang percaya virus corona bisa menular melalui hape xiaomi D.
Tugas berat dari seorang Nadiem bukanlah pada bagaimana merealisasikan gagasannya merdeka belajar. Tantangan terberat justru pada persoalan mempersiapkan semua perangkat pendidikan dari tingkat atas hingga akar rumput untuk mulai berpijak pada gagasan awal decoupling yang telah dicanangkan, dan lantas mendorong pada disruptif innovatif model yang akan dicapai (Online Learning In Covid-19).
Jika saja persoalan kesiapan akan capaian disruptif innovatif di era 4.0 ini tidak mampu terkomunikasikan dan terealisasi dengan baik, maka gagasan awal 4 Program Merdeka Belajar selamanya tidak pernah bisa memerdekakan diri dari kegagalan sistem pendidikan yang ‘basah’ dan nyaris tanpa perubahan sejak ratusan tahun yang lalu. ***